Berbicara mengenai Candi Borobudur tentu bukan
sesuatu yang asing untuk bangsa Indonesia. Karena warisan budaya ini sudah
terkenal keseluruh penjuru dunia. Tetapi dalam kesempatan ini, tidak ada
salahnya bila kita coba mengetahui lebih detail mengenai keberadaan candi
Borobudur.
Candi Borobudur merupakan bangunan candi Budha yang
terletak di wilayah kecamatan Borobudur kabupaten Magelang Provinsi Jawa
Tengah, Indonesia. Dalam beberapa pemberitaan sering disampaikan bahwa candi
ini berada di wilayah Yogyakarta. Lokasi candi ini adalah kurang lebih 100 km
di sebelah barat daya kota Semarang. Dan 86 km di sebelah barat kota
Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut kota Yogyakarta. Bangunan Candi
yang berbentuk stupa dibangun oleh para penganut agama Budha Mahayana sekitar
tahun 800an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. Candi Borobudur
adalah candi Budha terbesar di dunia hingga saat ini.
Struktur
bangunan candi terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang diatasnya
terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya terdapat 2.672 panel relief
dan 504 arca Budha. Candi Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap
dan terbanyak di dunia. Stupa utama candi Borobudur yang terbesar teletak di
tengah sekaligus menjadi mahkota bangunan ini. Stupa tersebut dikelilingi oleh
tiga baris melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca budha
sedang duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan)
dharma hakra mudra (memutar roda dharma).
Bangunan
ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk
memuliakan sang Budha sekaligus berfungsi sebagai tempat berziarah untuk
menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan
kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha. Para peziarah masuk melalui sisi timur
memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini
searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga
tingkatan ranah dalam kosmologi Budha. Ketiga tingkatan itu adalah Kamadhatu (ranah
hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud).
Dalam perjalanan, peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga
dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada
dinding dan pagar.
Candi
Borobudur ditinggalkan pada abad ke-14 seiring melemahnya pengaruh kerajaan
Hindu dan Budha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Dunia mulai
menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford
Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas wilayah
Jawa. Sejak saat itu Candi Borobudur telah mengalami serangkaian upaya
penyelamatan dan pemugaran. Proyek pemugaran terbesar digelar pada tahun 1975
hingga 1982 atas prakarsa Pemerintah Indonesia dan UNESCO, kemudian bangunan
ini menjadi situs bersejarah dan dimasukkan dalam daftar Situs Warisan Dunia.
Candi Borobudur hingga kini masih
digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan. Setiap tahun, umat Budha datang dari
seluruh pelosok Indonesia dan berbagai negara berkumpul di Borobudur untuk
memperingati Trisuci Waisak. Dalam dunia pariwisata, Borobudur adalah obyek
wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.
Asal
Mula
Asal
mula nama Borobudur tidak jelas. Nama Borobudur pertama kali diketemukan dalam
buku “Sejarah Pulau Jawa” yang ditulis oleh Sir Thomas Raffles. Raffles menulis
mengenai monumen bernama borobudur, akan tetapi belum diketemukan dokumen yang
lebih tua yang menyebutkan nama yang sama persis. Satu-satunya naskah Jawa kuno
yang memberi petunjuk mengenai adanya bangunan suci Buddha yang mungkin merujuk
kepada Candi Borobudur adalah Nagarakretagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca
pada 1365 Masehi.
Nama
Bore-Budur, yang kemudian ditulis Boro Budur, kemungkinan ditulis Raffles dalam
tata bahasa Inggris untuk menyebut desa terdekat dengan candi itu yaitu desa
Bore (Boro); Biasanya candi seringkali diberi nama sesuai desa tempat candi itu
berdiri. Raffles juga menduga bahwa istilah “Budur” mungkin berkaitan dengan
istilah Buda dalam bahasa Jawa yang berarti "purba"– maka
bermakna, "Boro purba". Akan tetapi arkeolog lain beranggapan bahwa
nama Budur berasal dari istilah bhudhara yang berarti gunung.
Banyak
teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa
nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya”gunung”
(bhudhara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu
terdapat beberapaetimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari
ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur.
Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata “bara” dan
“beduhur”. Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula
penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya
kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau
mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya
ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.
Sejarawan J.G. de
Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa
Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, Casparis memperkirakan
pendiri Borobudur adalah raja Mataram
dari wangsa Syailendra
bernama Samaratungga,
yang melakukan pembangunan sekitar tahun 824 M. Bangunan raksasa
itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani.
Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad. Dalam prasasti
Karangtengah pula disebutkan mengenai penganugerahan tanah sima (tanah bebas pajak) oleh Sri
Kahulunan (Pramudawardhani) untuk memelihara Kamulan yang disebut
Bhumisambhara. Istilah Kamulan sendiri berasal dari kata mula
yang berarti tempat asal muasal, bangunan suci untuk memuliakan leluhur,
kemungkinan leluhur dari wangsa Sailendra. Casparis memperkirakan bahwa Bhumi
Sambhara Bhudhara dalam bahasa Sanskerta yang berarti "Bukit himpunan
kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa", adalah nama asli Borobudur.
Tidak
seperti candi lainnya yang dibangun di atas tanah datar, Borobudur dibangun di
atas bukit dengan ketinggian 265 meter (870 kaki) dari permukaan laut dan 15
meter (49 kaki) di atas dasar danau purba yang telah mengering. Keberadaan
danau purba ini menjadi bahan perdebatan yang hangat di kalangan arkeolog pada
abad ke-20; dan menimbulkan dugaan bahwa Borobudur dibangun di tepi atau bahkan
di tengah danau. Pada 1931, seorang seniman dan pakar arsitektur Hindu Budha, W.O.J. Nieuwenkamp, mengajukan teori bahwa
Dataran Kedu dulunya adalah sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan
bunga teratai
yang mengapung di atas permukaan danau. Bunga teratai baik dalam bentuk padma
(teratai merah), utpala (teratai biru), ataupun kumuda (teratai
putih) dapat ditemukan dalam semua ikonografi seni keagamaan Buddha; seringkali
digenggam oleh Boddhisatwa sebagai laksana (lambang
regalia), menjadi alas duduk singgasana Buddha atau sebagai lapik stupa. Bentuk
arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan postur Budha di
Borobudur melambangkan Sutra Teratai yang kebanyakan ditemui dalam naskah
keagamaan Budha mahzab Mahayana (aliran Budha yang kemudian menyebar ke Asia Timur).
Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga diduga melambangkan kelopak
bunga teratai. Akan tetapi teori Nieuwenkamp yang terdengar luar biasa dan
fantastis ini banyak menuai bantahan dari para arkeolog; pada daratan di
sekitar monumen ini telah ditemukan bukti-bukti arkeologi yang membuktikan
bahwa kawasan sekitar Borobudur pada masa pembangunan candi ini adalah daratan
kering, bukan dasar danau purba.
Sementara itu pakar geologi justru
mendukung pandangan Nieuwenkamp dengan menunjukkan bukti adanya endapan sedimen
lumpur di dekat situs ini. Sebuah penelitian stratigrafi,
sedimen dan analisis sampel serbuk sari yang dilakukan tahun 2000 mendukung
keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur, yang memperkuat gagasan
Nieuwenkamp. Ketinggian permukaan danau purba ini naik-turun berubah-ubah dari
waktu ke waktu, dan bukti menunjukkan bahwa dasar bukit dekat Borobudur pernah
kembali terendam air dan menjadi tepian danau sekitar abad ke-13 dan ke-14.
Aliran sungai dan aktivitas vulkanik diduga memiliki andil turut mengubah
bentang alam dan topografi lingkungan sekitar Borobudur termasuk danaunya.
Salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia adalah Gunung Merapi yang
terletak cukup dekat dengan Borobudur dan telah aktif sejak masa Pleistosen.
Tidak
ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang membangun Borobudur dan
apa kegunaannya. Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan perbandingan
antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis
aksara yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9.
Diperkirakan Borobudur dibangun sekitar tahun 800 masehi. Kurun waktu ini
sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M, masa puncak kejayaan wangsa Syailendra
di Jawa Tengah, yang kala itu dipengaruhi kerajaan Sriwijaya.
Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75 - 100 tahun lebih dan
benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga
pada tahun 825.
Terdapat
ketidakpastian mengenai apakah raja yang berkuasa di Jawa kala itu beragama
Hindu atau Buddha. Wangsa Sailendra diketahui sebagai penganut agama Buddha
aliran Mahayana yang taat, akan tetapi melalui temuan prasasti Sojomerto menunjukkan bahwa mereka
mungkin awalnya beragama Hindu Siwa. Pada kurun waktu itulah dibangun berbagai
candi Hindu dan Buddha di Dataran Kedu. Berdasarkan Prasasti
Canggal, pada tahun 732 M, raja beragama Siwa Sanjaya memerintahkan pembangunan bangunan
suci Shiwalingga yang dibangun di perbukitan Gunung
Wukir, letaknya hanya 10 km (6.2 mil) sebelah timur dari Borobudur.
Candi Budha Borobudur dibangun pada kurun waktu yang hampir bersamaan dengan
candi-candi di Dataran Prambanan, meskipun demikian Borobudur
diperkirakan sudah rampung sekitar 825 M, dua puluh lima tahun lebih awal
sebelum dimulainya pembangunan candi Siwa Prambanan
sekitar tahun 850 M.
Pembangunan
candi-candi Buddha — termasuk Borobudur — saat itu dimungkinkan karena pewaris
Sanjaya, Rakai Panangkaran memberikan izin kepada umat
Buddha untuk membangun candi. Bahkan untuk menunjukkan penghormatannya,
Panangkaran menganugerahkan desa Kalasan
kepada sangha
(komunitas Buddha), untuk pemeliharaan dan pembiayaan Candi Kalasan
yang dibangun untuk memuliakan Bodhisattwadewi Tara, sebagaimana disebutkan
dalam Prasasti Kalasan berangka tahun 778 Masehi.
Petunjuk ini dipahami oleh para arkeolog, bahwa pada masyarakat Jawa kuno,
agama tidak pernah menjadi masalah yang dapat menuai konflik, dengan
dicontohkan raja penganut agama Hindu bisa saja menyokong dan mendanai
pembangunan candi Buddha, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi diduga terdapat
persaingan antara dua wangsa kerajaan pada masa itu — wangsa Syailendra yang
menganut Buddha dan wangsa Sanjaya yang memuja Siwa — yang kemudian wangsa
Sanjaya memenangi pertempuran pada tahun 856 di perbukitan Ratu Boko.
Ketidakjelasan juga timbul mengenai candi Lara Jonggrang di Prambanan,
candi megah yang dipercaya dibangun oleh sang pemenang Rakai Pikatan sebagai
jawaban wangsa Sanjaya untuk menyaingi kemegahan Borobudur milik wangsa
Syailendra, akan tetapi banyak pihak percaya bahwa terdapat suasana toleransi dan
kebersamaan yang penuh kedamaian antara kedua wangsa ini yaitu pihak Sailendra
juga terlibat dalam pembangunan Candi Siwa di Prambanan.
Selain
Candi Borobudur, terdapat beberapa candi Budha dan Hindu di kawasan ini. Pada
masa penemuan dan pemugaran di awal abad ke-20 ditemukan candi Budha lainnya
yaitu Candi Mendut dan Candi Pawon yang terbujur membentang dalam satu garis
lurus. Awalnya diduga hanya suatu kebetulan, akan tetapi berdasarkan dongeng
penduduk setempat, dulu terdapat jalan berlapis batu yang dipagari pagar
langkan di kedua sisinya yang menghubungkan ketiga candi ini. Tidak ditemukan
bukti fisik adanya jalan raya beralas batu dan berpagar dan mungkin ini hanya
dongeng belaka, akan tetapi para pakar menduga memang ada kesatuan perlambang
dari ketiga candi ini. Ketiga candi ini (Borobudur-Pawon-Mendut) memiliki
kemiripan langgam arsitektur dan ragam hiasnya dan memang berasal dari periode
yang sama yang memperkuat dugaan adanya keterkaitan ritual antar ketiga candi
ini. Keterkaitan suci pasti ada, akan tetapi bagaimanakah proses ritual
keagamaan ziarah dilakukan, belum diketahui secara pasti.
Borobudur,
Pawon, dan Mendut terbujur dalam satu garis lurus yang menunjukan kesatuan
perlambang. Candi Borobudur terletak di atas bukit pada dataran yang dikeliling
dua pasang gunung kembar; Gunung Sundoro - Gunung Sumbing di sebelah barat laut
dan Gunung Merbabu - Gunung Merapi di sebelah timur laut, di sebelah utaranya
terdapat Gunung Tidar, lebih dekat di sebelah selatan terdapat jajaran
perbukitan Menoreh, candi ini terletak dekat pertemuan dua sungai yaitu Sungai
Progo dan Sungai Elo di sebelah timur. Menurut legenda Jawa, daerah yang
dikenal sebagai dataran Kedu adalah tempat yang dianggap suci dalam kepercayaan
Jawa dan disanjung sebagai “Taman pulau Jawa” karena keindahan alam dan
kesuburan tanahnya.
Selain candi Mendut dan Pawon, di
sekitar Borobudur juga ditemukan beberapa peninggalan purbakala lainnya,
diantaranya berbagai temuan tembikar seperti periuk dan kendi yang menunjukkan
bahwa di sekitar Borobudur dulu terdapat beberapa wilayah hunian. Temuan-temuan
purbakala di sekitar Borobudur kini disimpan di Museum Karmawibhangga Borobudur, yang
terletak di sebelah utara candi bersebelahan dengan Museum Samudra Raksa. Tidak seberapa jauh
di sebelah utara Candi Pawon ditemukan reruntuhan bekas candi Hindu yang
disebut Candi Banon.
Pada candi ini ditemukan beberapa arca dewa-dewa utama Hindu dalam keadaan
cukup baik yaitu Shiwa,
Wishnu,
Brahma,
serta Ganesha.
Akan tetapi batu asli Candi Banon amat sedikit ditemukan sehingga tidak mungkin
dilakukan rekonstruksi. Pada saat penemuannya arca-arca Banon diangkut ke
Batavia (kini Jakarta) dan kini disimpan di Museum Nasional Indonesia.
Pada
hakikatnya Borobudur adalah sebuah stupa yang bila dilihat dari atas membentuk pola Mandala
besar. Mandala adalah pola rumit yang tersusun atas bujursangkar dan lingkaran
konsentris yang melambangkan kosmos atau alam semesta yang lazim ditemukan dalam Buddha
aliran Wajrayana-Mahayana. Sepuluh pelataran yang dimiliki Borobudur
menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana
yang secara bersamaan menggambarkan kosmologi
yaitu konsep alam semesta, sekaligus tingkatan alam pikiran dalam ajaran
Buddha. Bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva
yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi
Buddha. Dasar denah bujur sangkar berukuran 123 m (400 kaki) pada tiap sisinya. Bangunan ini
memiliki sembilan teras, enam teras terbawah berbentuk bujur sangkar dan tiga
teras teratas berbentuk lingkaran.
Pada
tahun 1885, secara tidak disengaja ditemukan struktur tersembunyi di kaki
Borobudur. Kaki tersembunyi ini terdapat relief yang 160 diantaranya adalah
berkisah tentang Karmawibhangga. Pada relief panel ini terdapat ukiran
aksara yang merupakan petunjuk bagi pengukir untuk membuat adegan dalam gambar
relief. Kaki asli ini tertutup oleh penambahan struktur batu yang membentuk
pelataran yang cukup luas, fungsi sesungguhnya masih menjadi misteri. Awalnya
diduga bahwa penambahan kaki ini untuk mencegah kelongsoran monumen. Teori lain
mengajukan bahwa penambahan kaki ini disebabkan kesalahan perancangan kaki
asli, dan tidak sesuai dengan Wastu Sastra, kitab India
mengenai arsitektur dan tata kota. Apapun alasan penambahan kaki ini,
penambahan dan pembuatan kaki tambahan ini dilakukan dengan teliti dengan
mempertimbangkan alasan keagamaan, estetik, dan teknis.
Ketiga
tingkatan ranah spiritual dalam kosmologi Buddha adalah:
Kamadhatu Bagian kaki
Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai
oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar
tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi
candi. Pada bagian kaki asli yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 160
panel cerita Karmawibhangga yang kini tersembunyi. Sebagian kecil
struktur tambahan di sudut tenggara disisihkan sehingga orang masih dapat
melihat beberapa relief pada bagian ini. Struktur batu andesit kaki tambahan
yang menutupi kaki asli ini memiliki volume 13.000 meter kubik.
Rupadhatu Empat undak
teras yang membentuk lorong keliling yang pada dindingnya dihiasi galeri relief
oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi.
Rupadhatu terdiri dari empat lorong dengan 1.300 gambar relief. Panjang relief
seluruhnya 2,5 km dengan 1.212 panel berukir dekoratif. Rupadhatu adalah
dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat
oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni,
antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini
patung-patung Buddha terdapat pada ceruk atau relung dinding di atas pagar
langkan atau selasar. Aslinya terdapat 432 arca Buddha di dalam relung-relung
terbuka di sepanjang sisi luar di pagar langkan. Pada pagar langkan terdapat
sedikit perbedaan rancangan yang melambangkan peralihan dari ranah Kamadhatu
menuju ranah Rupadhatu; pagar langkan paling rendah dimahkotai ratna, sedangkan
empat tingkat pagar langkan diatasnya dimahkotai stupika
(stupa kecil). Bagian teras-teras bujursangkar ini kaya akan hiasan dan ukiran
relief.
Arupadhatu Berbeda dengan
lorong-lorong Rupadhatu yang kaya akan relief, mulai lantai kelima hingga
ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu
(yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk
lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah
bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana.
Pada pelataran lingkaran terdapat 72 dua stupa kecil berterawang yang tersusun
dalam tiga barisan yang mengelilingi satu stupa besar sebagai stupa induk.
Stupa kecil berbentuk lonceng ini disusun dalam 3 teras lingkaran yang
masing-masing berjumlah 32, 24, dan 16 (total 72 stupa). Dua teras terbawah
stupanya lebih besar dengan lubang berbentuk belah ketupat, satu teras teratas
stupanya sedikit lebih kecil dan lubangnya berbentuk kotak bujur sangkar.
Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang
seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.
Rancang bangun ini dengan cerdas menjelaskan konsep peralihan menuju keadaan
tanpa wujud, yakni arca Buddha itu ada tetapi tak terlihat.
Tingkatan tertinggi yang menggambarkan
ketiadaan wujud yang sempurna dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan
tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar
ini pernah ditemukan patung Buddha yang tidak sempurna atau disebut juga Buddha
yang tidak rampung, yang disalahsangkakan sebagai patung 'Adibuddha', padahal
melalui penelitian lebih lanjut tidak pernah ada patung di dalam stupa utama,
patung yang tidak selesai itu merupakan kesalahan pemahatnya pada zaman dahulu.
Menurut kepercayaan patung yang salah dalam proses pembuatannya memang tidak
boleh dirusak. Penggalian arkeologi yang dilakukan di halaman candi ini
menemukan banyak patung seperti ini. Stupa utama yang dibiarkan kosong diduga
bermakna kebijaksanaan tertinggi, yaitu kasunyatan, kesunyian dan ketiadaan
sempurna dimana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat, keinginan, dan bentuk
serta terbebas dari lingkaran samsara.
Sekitar
55.000 meter kubik batu andesit diangkut dari tambang batu dan tempat penatahan untuk
membangun monumen ini. Batu ini dipotong dalam ukuran tertentu, diangkut menuju
situs dan disatukan tanpa menggunakan semen. Struktur Borobudur tidak memakai
semen sama sekali, melainkan sistem interlock (saling kunci) yaitu
seperti balok-balok lego
yang bisa menempel tanpa perekat. Batu-batu ini disatukan dengan tonjolan dan
lubang yang tepat dan muat satu sama lain, serta bentuk "ekor merpati"
yang mengunci dua blok batu. Relief dibuat di lokasi setelah struktur bangunan
dan dinding rampung.
Monumen
ini dilengkapi dengan sistem drainase yang cukup baik untuk wilayah dengan curah hujan yang
tinggi. Untuk mencegah genangan dan kebanjiran, 100 pancuran dipasang disetiap
sudut, masing-masing dengan rancangan yang unik berbentuk kepala raksasa kala atau makara.
Borobudur
amat berbeda dengan rancangan candi lainnya, candi ini tidak dibangun di atas
permukaan datar, tetapi di atas bukit alami. Akan tetapi teknik pembangunannya
serupa dengan candi-candi lain di Jawa. Borobudur tidak memiliki ruang-ruang
pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang
merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi
tingkat demi tingkat. Secara umum rancang bangun Borobudur mirip dengan piramida
berundak. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara
berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Borobudur mungkin pada awalnya
berfungsi lebih sebagai sebuah stupa, daripada kuil atau candi. Stupa
memang dimaksudkan sebagai bangunan suci untuk memuliakan Buddha. Terkadang
stupa dibangun sebagai lambang penghormatan dan pemuliaan kepada Buddha.
Sementara kuil atau candi lebih berfungsi sebagai rumah ibadah. Rancangannya
yang rumit dari monumen ini menunjukkan bahwa bangunan ini memang sebuah
bangunan tempat peribadatan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur teras
bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden
berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah
Indonesia.
Menurut
legenda setempat arsitek perancang Borobudur bernama Gunadharma,
sedikit yang diketahui tentang arsitek misterius ini. Namanya lebih berdasarkan
dongeng dan legenda Jawa dan bukan berdasarkan prasasti bersejarah. Legenda
Gunadharma terkait dengan cerita rakyat mengenai perbukitan Menoreh yang
bentuknya menyerupai tubuh orang berbaring. Dongeng lokal ini menceritakan
bahwa tubuh Gunadharma yang berbaring berubah menjadi jajaran perbukitan
Menoreh, tentu saja legenda ini hanya fiksi dan dongeng belaka.
Perancangan
Borobudur menggunakan satuan ukur tala, yaitu panjang wajah manusia
antara ujung garis rambut di dahi hingga ujung dagu, atau jarak jengkal antara
ujung ibu jari dengan ujung jari kelingking ketika telapak tangan dikembangkan
sepenuhnya. Tentu saja satuan ini bersifat relatif dan sedikit berbeda antar
individu, akan tetapi satuan ini tetap pada monumen ini. Penelitian pada 1977
mengungkapkan rasio perbandingan 4:6:9 yang ditemukan di monumen ini. Arsitek
menggunakan formula ini untuk menentukan dimensi yang tepat dari suatu fraktal
geometri perulangan swa-serupa dalam rancangan Borobudur. Rasio matematis ini
juga ditemukan dalam rancang bangun Candi Mendut dan Pawon di dekatnya.
Arkeolog yakin bahwa rasio 4:6:9 dan satuan tala memiliki fungsi dan
makna penanggalan, astronomi, dan kosmologi. Hal yang sama juga berlaku di
candi Angkor Wat
di Kamboja.
Struktur bangunan dapat dibagi atas tiga
bagian: dasar (kaki), tubuh, dan puncak. Dasar berukuran 123×123 m (403.5
× 403.5 ft) dengan tinggi 4 m (13 kaki). Tubuh candi terdiri atas lima batur
teras bujur sangkar yang makin mengecil di atasnya. Teras pertama mundur
7 m
(23 kaki) dari ujung dasar teras. Tiap teras
berikutnya mundur 2 m (6.6 kaki), menyisakan lorong sempit pada tiap
tingkatan. Bagian atas terdiri atas tiga teras melingkar, tiap tingkatan
menopang barisan stupa berterawang yang disusun secara konsentris. Terdapat
stupa utama yang terbesar di tengah; dengan pucuk mencapai ketinggian 35 m (110 kaki) dari permukaan tanah. Tinggi asli
Borobudur termasuk chattra (payung susun tiga) yang kini dilepas adalah
42 m
(140 kaki) . Tangga terletak pada bagian tengah
keempat sisi mata angin yang membawa pengunjung menuju bagian puncak monumen melalui
serangkaian gerbang pelengkung yang dijaga 32 arca singa. Gawang pintu gerbang
dihiasi ukiran Kala
pada puncak tengah lowong pintu dan ukiran makara yang
menonjol di kedua sisinya. Motif Kala-Makara lazim ditemui dalam arsitektur
pintu candi di Jawa. Pintu utama terletak di sisi timur, sekaligus titik awal
untuk membaca kisah relief. Tangga ini lurus terus tersambung dengan tangga
pada lereng bukit yang menghubungkan candi dengan dataran di sekitarnya.
Pada
dinding candi di setiap tingkatan — kecuali pada teras-teras Arupadhatu —
dipahatkan panel-panel bas-relief yang dibuat dengan sangat teliti dan halus.
Relief dan pola hias Borobudur bergaya naturalis dengan proporsi yang ideal dan
selera estetik yang halus. Relief-relief ini sangat indah, bahkan dianggap
sebagai yang paling elegan dan anggun dalam kesenian dunia Buddha. Relief
Borobudur juga menerapkan disiplin senirupa India, seperti berbagai sikap tubuh
yang memiliki makna atau nilai estetis tertentu. Relief-relief berwujud manusia
mulia seperti pertapa, raja dan wanita bangsawan, bidadari
atapun makhluk yang mencapai derajat kesucian laksana dewa, seperti tara dan
boddhisatwa, seringkali digambarkan dengan posisi tubuh tribhanga. Posisi tubuh
ini disebut "lekuk tiga" yaitu melekuk atau sedikit condong pada
bagian leher, pinggul, dan pergelangan kaki dengan beban tubuh hanya bertumpu
pada satu kaki, sementara kaki yang lainnya dilekuk beristirahat. Posisi tubuh
yang luwes ini menyiratkan keanggunan, misalnya figur bidadari Surasundari yang
berdiri dengan sikap tubuh tribhanga sambil menggenggam teratai bertangkai
panjang.
Relief
Borobudur menampilkan banyak gambar; seperti sosok manusia baik bangsawan,
rakyat jelata, atau pertapa, aneka tumbuhan dan hewan, serta menampilkan bentuk
bangunan vernakular tradisional Nusantara.
Borobudur tak ubahnya bagaikan kitab yang merekam berbagai aspek kehidupan
masyarakat Jawa kuno. Banyak arkeolog meneliti kehidupan masa lampau di Jawa
kuno dan Nusantara abad ke-8 dan ke-9 dengan mencermati dan merujuk ukiran
relief Borobudur. Bentuk rumah panggung, lumbung, istana dan candi, bentuk
perhiasan, busana serta persenjataan, aneka tumbuhan dan margasatwa, serta alat
transportasi, dicermati oleh para peneliti. Salah satunya adalah relief terkenal
yang menggambarkan Kapal Borobudur. Kapal kayu bercadik khas
Nusantara ini menunjukkan kebudayaan bahari purbakala. Replika bahtera yang
dibuat berdasarkan relief Borobudur tersimpan di Museum Samudra Raksa yang terletak di
sebelah utara Borobudur.
Relief-relief ini dibaca sesuai arah
jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna
yang berasal dari bahasa Sanskerta daksina yang artinya
ialah timur.
Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain relief-relief
cerita jātaka.
Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu
gerbang sisi timur di setiap tingkatnya, mulainya di sebelah kiri dan berakhir
di sebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur
adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya
bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.
Adapun
susunan dan pembagian relief cerita pada dinding dan pagar langkan candi adalah
sebagai berikut.
Bagan
Relief
|
|||
Tingkat
|
Posisi/letak
|
Cerita
Relief
|
Jumlah
Pigura
|
Kaki candi
asli
|
-----
|
160
|
|
Tingkat I
|
Dinding
|
120
|
|
120
|
|||
Langkan
|
a.
jataka/awadana
|
372
|
|
b.
jataka/awadana
|
128
|
||
Tingkat II
|
Dinding
|
128
|
|
Langkan
|
jataka/awadana
|
100
|
|
Tingkat III
|
dinding
|
Gandawyuha
|
88
|
langkan
|
Gandawyuha
|
88
|
|
Tingkat IV
|
dinding
|
Gandawyuha
|
84
|
langkan
|
Gandawyuha
|
72
|
|
Jumlah
|
1460
|
Secara runtutan,
maka cerita pada relief candi secara singkat bermakna sebagai berikut :
Karmawibhangga
Salah satu
ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)
Sesuai
dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang
terselubung tersebut menggambarkan hukum karma. Karmawibhangga adalah naskah
yang menggambarkan ajaran mengenai karma, yakni sebab-akibat perbuatan baik dan
jahat. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri (serial), tetapi
pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai hubungan sebab
akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela
manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan
baik manusia dan pahala.
Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran
lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha
rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan. Kini hanya
bagian tenggara yang terbuka dan dapat dilihat oleh pengujung. Foto lengkap
relief Karmawibhangga dapat disaksikan di Museum Karmawibhangga di sisi utara
candi Borobudur.
Lalitawistara
Merupakan
penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan
merupakan riwayat yang lengkap) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari
surga Tushita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota
Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah
melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur.
Ke-27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia,
sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa
selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di
arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri
Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang
berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai
Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang
juga berarti "hukum", sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.
Jataka dan
Awadana
Jataka adalah
berbagai cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta.
Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela
berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dari makhluk lain
manapun juga. Beberapa kisah Jataka menampilkan kisah fabel yakni kisah yang
melibatkan tokoh satwa yang bersikap dan berpikir seperti manusia.
Sesungguhnya, pengumpulan jasa atau perbuatan baik merupakan tahapan persiapan
dalam usaha menuju ketingkat ke-Buddha-an.
Sedangkan
Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan
Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti
perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana.
Pada relief candi Borobudur Jataka dan Awadana, diperlakukan sama, artinya
keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling
terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita
Jataka, karya penyair Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 Masehi.
Gandawyuha
Merupakan
deretan relief menghiasi dinding lorong ke-2,adalah cerita Sudhana yang berkelana
tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang
Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada
kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian
penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.
Arca
Buddha
Selain
wujud buddha dalam kosmologi buddhis yang terukir di dinding, di Borobudur
terdapat banyak arca buddha duduk bersila dalam posisi teratai serta
menampilkan mudra
atau sikap tangan simbolis tertentu. Patung buddha dengan tinggi 1,5 meter ini
dipahat dari bahan batu andesit.
Patung
buddha dalam relung-relung di tingkat Rupadhatu, diatur berdasarkan
barisan di sisi luar pagar langkan. Jumlahnya semakin berkurang pada sisi
atasnya. Barisan pagar langkan pertama terdiri dari 104 relung, baris kedua 104
relung, baris ketiga 88 relung, baris keempat 72 relung, dan baris kelima 64
relung. Jumlah total terdapat 432 arca Buddha di tingkat Rupadhatu. Pada
bagian Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), arca Buddha diletakkan di
dalam stupa-stupa
berterawang (berlubang). Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32 stupa,
pelataran kedua 24 stupa, dan pelataran ketiga terdapat 16 stupa, semuanya
total 72 stupa. Dari jumlah asli sebanyak 504 arca Buddha, lebih dari 300 telah
rusak (kebanyakan tanpa kepala) dan 43 hilang (sejak penemuan monumen ini,
kepala buddha sering dicuri sebagai barang koleksi, kebanyakan oleh museum luar
negeri).
Secara
sepintas semua arca buddha ini terlihat serupa, akan tetapi terdapat perbedaan
halus diantaranya, yaitu pada mudra atau posisi sikap tangan. Terdapat lima golongan mudra:
Utara, Timur, Selatan, Barat, dan Tengah, kesemuanya berdasarkan lima arah
utama kompas menurut ajaran Mahayana. Keempat pagar langkan memiliki empat mudra:
Utara, Timur, Selatan, dan Barat, dimana masing-masing arca buddha yang
menghadap arah tersebut menampilkan mudra yang khas. Arca Buddha pada
pagar langkan kelima dan arca buddha di dalam 72 stupa berterawang di pelataran
atas menampilkan mudra: Tengah atau Pusat. Masing-masing mudra
melambangkan lima Dhyani Buddha; masing-masing dengan makna simbolisnya
tersendiri.
Mengikuti urutan
Pradakshina yaitu gerakan mengelilingi searah jarum jam dimulai dari
sisi Timur, maka mudra
arca-arca buddha di Borobudur adalah:
Mudra
|
Melambangkan
|
Dhyani
Buddha
|
Arah
Mata Angin
|
Lokasi
Arca
|
Bhumisparsa
mudra
|
Memanggil bumi
sebagai saksi
|
Timur
|
Relung di
pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi timur
|
|
Wara mudra
|
Kedermawanan
|
Selatan
|
Relung di
pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi selatan
|
|
Dhyana mudra
|
Semadi atau
meditasi
|
Barat
|
Relung di
pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi barat
|
|
Abhaya mudra
|
Ketidakgentaran
|
Utara
|
Relung di
pagar langkan 4 baris pertama Rupadhatu sisi utara
|
|
Witarka mudra
|
Akal budi
|
Tengah
|
Relung di
pagar langkan baris kelima (teratas) Rupadhatu semua sisi
|
|
Dharmachakra
mudra
|
Pemutaran roda
dharma
|
Tengah
|
Di dalam 72
stupa di 3 teras melingkar Arupadhatu
|
Para
arkeologi menduga, rancangan awal Borobudur adalah stupa tunggal yang sangat
besar memahkotai puncaknya. Massa stupa raksasa yang luar biasa besar dan berat
ini membahayakan tubuh dan kaki candi sehingga arsitek perancang Borobudur
memutuskan untuk membongkar stupa raksasa ini dan diganti menjadi tiga barisan
stupa kecil dan satu stupa induk seperti sekarang. Berikut adalah perkiraan
tahapan pembangunan Borobudur:
Masa
pembangunan Borobudur tidak diketahui pasti (diperkirakan kurun 750 dan 850 M). Borobudur dibangun
di atas bukit alami, bagian atas bukit diratakan dan pelataran datar diperluas.
Sesungguhnya Borobudur tidak seluruhnya terbuat dari batu andesit, bagian bukit
tanah dipadatkan dan ditutup struktur batu sehingga menyerupai cangkang yang
membungkus bukit tanah. Sisa bagian bukit ditutup struktur batu lapis demi
lapis. Pada awalnya dibangun tata susun bertingkat. Sepertinya dirancang
sebagai piramida berundak, tetapi kemudian diubah. Sebagai bukti ada tata susun
yang dibongkar. Dibangun tiga undakan pertama yang menutup struktur asli piramida
berundak.
Penambahan
dua undakan persegi, pagar langkan dan satu undak melingkar yang diatasnya
langsung dibangun stupa tunggal yang sangat besar.
Terjadi
perubahan rancang bangun, undak atas lingkaran dengan stupa tunggal induk besar
dibongkar dan diganti tiga undak lingkaran. Stupa-stupa yang lebih kecil
dibangun berbaris melingkar pada pelataran undak-undak ini dengan satu stupa
induk yang besar di tengahnya. Karena alasan tertentu pondasi diperlebar,
dibangun kaki tambahan yang membungkus kaki asli sekaligus menutup relief
Karmawibhangga. Para arkeolog menduga bahwa Borobudur semula dirancang berupa
stupa tunggal yang sangat besar memahkotai batur-batur teras bujur sangkar.
Akan tetapi stupa besar ini terlalu berat sehingga mendorong struktur bangunan
condong bergeser keluar. Patut diingat bahwa inti Borobudur hanyalah bukit
tanah sehingga tekanan pada bagian atas akan disebarkan ke sisi luar bagian
bawahnya sehingga Borobudur terancam longsor dan runtuh. Karena itulah diputuskan
untuk membongkar stupa induk tunggal yang besar dan menggantikannya dengan
teras-teras melingkar yang dihiasi deretan stupa kecil berterawang dan hanya
satu stupa induk. Untuk menopang agar dinding candi tidak longsor maka
ditambahkan struktur kaki tambahan yang membungkus kaki asli. Struktur ini
adalah penguat dan berfungsi bagaikan ikat pinggang yang mengikat agar tubuh
candi tidak ambrol dan runtuh keluar, sekaligus menyembunyikan relief
Karmawibhangga pada bagian Kamadhatu
Ada
perubahan kecil seperti penyempurnaan relief, penambahan pagar langkan terluar,
perubahan tangga dan pelengkung atas gawang pintu, serta pelebaran ujung kaki.
Borobudur
tersembunyi dan terlantar selama berabad-abad terkubur di bawah lapisan tanah
dan debu vulkanik yang kemudian ditumbuhi pohon dan semak belukar sehingga
Borobudur kala itu benar-benar menyerupai bukit. Alasan sesungguhnya penyebab
Borobudur ditinggalkan hingga kini masih belum diketahui. Tidak diketahui
secara pasti sejak kapan bangunan suci ini tidak lagi menjadi pusat ziarah umat
Buddha. Pada kurun 928 dan 1006, Raja Mpu Sindok
memindahkan ibu kota kerajaan Medang ke kawasan Jawa Timur
setelah serangkaian letusan gunung berapi; tidak dapat dipastikan apakah faktor
inilah yang menyebabkan Borobudur ditinggalkan, akan tetapi beberapa sumber
menduga bahwa sangat mungkin Borobudur mulai ditinggalkan pada periode ini.
Bangunan suci ini disebutkan secara samar-samar sekitar tahun 1365, oleh Mpu Prapanca
dalam naskahnya Nagarakretagama yang ditulis pada masa
kerajaan Majapahit.
Ia menyebutkan adanya "Wihara di Budur". Selain itu Soekmono (1976)
juga mengajukan pendapat populer bahwa candi ini mulai benar-benar ditinggalkan
sejak penduduk sekitar beralih keyakinan kepada Islam pada abad ke-15.
Monumen ini tidak sepenuhnya dilupakan,
melalui dongeng rakyat Borobudur beralih dari bukti kejayaan masa lampau
menjadi kisah yang lebih bersifat tahayul yang dikaitkan dengan kesialan,
kemalangan dan penderitaan. Dua Babad Jawa yang ditulis abad ke-18 menyebutkan
nasib buruk yang dikaitkan dengan monumen ini. Menurut Babad Tanah Jawi
(Sejarah Jawa), monumen ini merupakan faktor fatal bagi Mas Dana, pembangkang
yang memberontak kepada Pakubuwono I, raja Kesultanan Mataram pada 1709. Disebutkan bahwa
bukit "Redi Borobudur" dikepung dan para pemberontak dikalahkan dan
dihukum mati oleh raja. Dalam Babad Mataram (Sejarah Kerajaan Mataram),
monumen ini dikaitkan dengan kesialan Pangeran Monconagoro, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta yang mengunjungi
monumen ini pada 1757. Meskipun terdapat larangan orang untuk mengunjungi
monumen ini, "Sang Pangeran datang dan mengunjungi satria yang
terpenjara di dalam kurungan (arca buddha yang terdapat di dalam stupa
berterawang)". Setelah kembali ke keraton, sang Pangeran jatuh sakit dan
meninggal dunia sehari kemudian. Dalam kepercayaan Jawa pada masa Mataram
Islam, reruntuhan bangunan percandian dianggap sebagai tempat bersemayamnya roh
halus dan dianggap wingit (angker) sehingga dikaitkan dengan kesialan
atau kemalangan yang mungkin menimpa siapa saja yang mengunjungi dan mengganggu
situs ini.
Setelah
Perang Inggris-Belanda dalam memperebutkan
pulau Jawa, Jawa dibawah pemerintahan Britania (Inggris) pada kurun 1811 hingga
1816. Thomas Stamford Raffles ditunjuk sebagai
Gubernur Jenderal, dan ia memiliki minat istimewa terhadap sejarah Jawa. Ia
mengumpulkan artefak-artefak
antik kesenian Jawa kuno dan membuat catatan mengenai sejarah dan kebudayaan
Jawa yang dikumpulkannya dari perjumpaannya dengan rakyat setempat dalam
perjalanannya keliling Jawa. Pada kunjungan inspeksinya di Semarang
tahun 1814, ia dikabari mengenai adanya sebuah monumen besar jauh di dalam
hutan dekat desa Bumisegoro. Karena berhalangan dan tugasnya sebagai Gubernur
Jenderal, ia tidak dapat pergi sendiri untuk mencari bangunan itu dan mengutus
H.C. Cornelius, seorang insinyur Belanda, untuk menyelidiki keberadaan bangunan
besar ini. Dalam dua bulan, Cornelius beserta 200 bawahannya menebang pepohonan
dan semak belukar yang tumbuh di bukit Borobudur dan membersihkan lapisan tanah
yang mengubur candi ini. Karena ancaman longsor, ia tidak dapat menggali dan
membersihkan semua lorong. Ia melaporkan penemuannya kepada Raffles termasuk
menyerahkan berbagai gambar sketsa candi Borobudur. Meskipun penemuan ini hanya
menyebutkan beberapa kalimat, Raffles dianggap berjasa atas penemuan kembali
monumen ini, serta menarik perhatian dunia atas keberadaan monumen yang pernah
hilang ini.
Hartmann,
seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda di Keresidenan Kedu meneruskan kerja
Cornelius dan pada 1835 akhirnya seluruh bagian bangunan telah tergali dan
terlihat. Minatnya terhadap Borobudur lebih bersifat pribadi daripada tugas
kerjanya. Hartmann tidak menulis laporan atas kegiatannya; secara khusus,
beredar kabar bahwa ia telah menemukan arca buddha besar di stupa utama. Pada
1842, Hartmann menyelidiki stupa utama meskipun apa yang ia temukan tetap
menjadi misteri karena bagian dalam stupa kosong.
Pemerintah
Hindia
Belanda menugaskan F.C. Wilsen, seorang insinyur pejabat Belanda
bidang teknik, ia mempelajari monumen ini dan menggambar ratusan sketsa relief.
J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk melakukan penelitian lebih terperinci atas
monumen ini, yang dirampungkannya pada 1859. Pemerintah berencana menerbitkan
artikel berdasarkan penelitian Brumund yang dilengkapi sketsa-sketsa karya
Wilsen, tetapi Brumund menolak untuk bekerja sama. Pemerintah Hindia Belanda
kemudian menugaskan ilmuwan lain, C. Leemans, yang mengkompilasi monografi berdasarkan
sumber dari Brumund dan Wilsen. Pada 1873, monograf pertama dan penelitian
lebih detil atas Borobudur diterbitkan, dilanjutkan edisi terjemahannya dalam
bahasa Perancis setahun kemudian. Foto pertama monumen ini diambil pada 1873
oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen.
Penghargaan
atas situs ini tumbuh perlahan. Untuk waktu yang cukup lama Borobudur telah
menjadi sumber cenderamata dan pendapatan bagi pencuri, penjarah candi, dan
kolektor "pemburu artefak". Kepala arca Buddha adalah bagian yang
paling banyak dicuri. Karena mencuri seluruh arca buddha terlalu berat dan
besar, arca sengaja dijungkirkan dan dijatuhkan oleh pencuri agar kepalanya
terpenggal. Karena itulah kini di Borobudur banyak ditemukan arca Buddha tanpa
kepala. Kepala Buddha Borobudur telah lama menjadi incaran kolektor benda antik
dan museum-museum di seluruh dunia. Pada 1882, kepala inspektur artefak budaya
menyarankan agar Borobudur dibongkar seluruhnya dan reliefnya dipindahkan ke
museum akibat kondisi yang tidak stabil, ketidakpastian dan pencurian yang
marak di monumen. Akibatnya, pemerintah menunjuk Groenveldt, seorang arkeolog,
untuk menggelar penyelidikan menyeluruh atas situs dan memperhitungkan kondisi
aktual kompleks ini; laporannya menyatakan bahwa kekhawatiran ini berlebihan
dan menyarankan agar bangunan ini dibiarkan utuh dan tidak dibongkar untuk
dipindahkan.
Bagian
candi Borobudur dicuri sebagai benda cinderamata, arca dan ukirannya diburu
kolektor benda antik. Tindakan penjarahan situs bersejarah ini bahkan salah
satunya direstui Pemerintah Kolonial. Pada tahun 1896, Raja Thailand,
Chulalongkorn
ketika mengunjungi Jawa di Hindia Belanda (kini Indonesia) menyatakan
minatnya untuk memiliki beberapa bagian dari Borobudur. Pemerintah Hindia
Belanda mengizinkan dan menghadiahkan delapan gerobak penuh arca dan bagian
bangunan Borobudur. Artefak yang diboyong ke Thailand antara lain; lima arca
Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu
berbentuk kala, tangga dan gerbang, dan arca penjaga dwarapala
yang pernah berdiri di Bukit Dagi — beberapa ratus meter di barat laut
Borobudur. Beberapa artefak ini, yaitu arca singa dan dwarapala, kini
dipamerkan di Museum Nasional Bangkok.
Borobudur kembali menarik perhatian pada
1885, ketika Yzerman, Ketua Masyarakat Arkeologi di Yogyakarta, menemukan kaki
tersembunyi. Foto-foto yang menampilkan relief pada kaki tersembunyi dibuat
pada kurun 1890–1891. Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk
mengambil langkah menjaga kelestarian monumen ini. Pada 1900, pemerintah
membentuk komisi yang terdiri atas tiga pejabat untuk meneliti monumen ini:
Brandes, seorang sejarawan seni, Theodoor van Erp, seorang insinyur yang juga
anggota tentara Belanda, dan Van de Kamer, insinyur ahli konstruksi bangunan
dari Departemen Pekerjaan Umum.
Pada
1902, komisi ini mengajukan proposal tiga langkah rencana pelestarian Borobudur
kepada pemerintah. Pertama, bahaya yang mendesak harus segera diatasi dengan
mengatur kembali sudut-sudut bangunan, memindahkan batu yang membahayakan batu
lain di sebelahnya, memperkuat pagar langkan pertama, dan memugar beberapa
relung, gerbang, stupa dan stupa utama. Kedua, memagari halaman candi,
memelihara dan memperbaiki sistem drainase dengan memperbaiki lantai dan
pancuran. Ketiga, semua batuan lepas dan longgar harus dipindahkan, monumen ini
dibersihkan hingga pagar langkan pertama, batu yang rusak dipindahkan dan stupa
utama dipugar. Total biaya yang diperlukan pada saat itu ditaksir sekitar
48.800 Gulden.
Pemugaran
dilakukan pada kurun 1907 dan 1911, menggunakan prinsip anastilosis
dan dipimpin Theodor van Erp. Tujuh bulan pertama dihabiskan untuk menggali
tanah di sekitar monumen untuk menemukan kepala buddha yang hilang dan panel
batu. Van Erp membongkar dan membangun kembali tiga teras melingkar dan stupa
di bagian puncak. Dalam prosesnya Van Erp menemukan banyak hal yang dapat
diperbaiki; ia mengajukan proposal lain yang disetujui dengan anggaran tambahan
sebesar 34.600 gulden. Van Erp melakukan rekonstruksi lebih lanjut, ia bahkan
dengan teliti merekonstruksi chattra (payung batu susun tiga) yang
memahkotai puncak Borobudur. Pada pandangan pertama, Borobudur telah pulih
seperti pada masa kejayaannya. Akan tetapi rekonstruksi chattra hanya
menggunakan sedikit batu asli dan hanya rekaan kira-kira. Karena dianggap tidak
dapat dipertanggungjawabkan keasliannya, Van Erp membongkar sendiri bagian chattra.
Kini mastaka atau kemuncak Borobudur chattra susun tiga tersimpan di
Museum Karmawibhangga Borobudur.
Akibat
anggaran yang terbatas, pemugaran ini hanya memusatkan perhatian pada
membersihkan patung dan batu, Van Erp tidak memecahkan masalah drainase dan
tata air. Dalam 15 tahun, dinding galeri miring dan relief menunjukkan retakan
dan kerusakan. Van Erp menggunakan beton yang menyebabkan terbentuknya kristal
garam alkali dan kalsium hidroksida yang menyebar ke seluruh bagian bangunan
dan merusak batu candi. Hal ini menyebabkan masalah sehingga renovasi lebih
lanjut diperlukan.
Pemugaran kecil-kecilan dilakukan sejak
itu, tetapi tidak cukup untuk memberikan perlindungan yang utuh. Pada akhir
1960-an, Pemerintah Indonesia telah mengajukan
permintaan kepada masyarakat internasional untuk pemugaran besar-besaran demi
melindungi monumen ini. Pada 1973, rencana induk untuk memulihkan Borobudur
dibuat Pemerintah Indonesia dan UNESCO mengambil langkah untuk perbaikan menyeluruh monumen
ini dalam suatu proyek besar antara tahun 1975 dan 1982. Pondasi diperkokoh dan
segenap 1.460 panel relief dibersihkan. Pemugaran ini dilakukan dengan
membongkar seluruh lima teras bujur sangkar dan memperbaiki sistem drainase
dengan menanamkan saluran air ke dalam monumen. Lapisan saringan dan kedap air
ditambahkan. Proyek kolosal ini melibatkan 600 orang untuk memulihkan monumen
dan menghabiskan biaya total sebesar 6.901.243 dollar AS. Setelah renovasi,
UNESCO memasukkan Borobudur ke dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991.
Borobudur masuk dalam kriteria Budaya
- Mewakili
mahakarya kretivitas manusia yang jenius,
- Menampilkan
pertukaran penting dalam nilai-nilai manusiawi dalam rentang waktu
tertentu di dalam suatu wilayah budaya di dunia, dalam pembangunan
arsitektur dan teknologi, seni yang monumental, perencanaan tata kota dan
rancangan lansekap
- Secara
langsung dan jelas dihubungkan dengan suatu peristiwa atau tradisi yang
hidup, dengan gagasan atau dengan kepercayaan, dengan karya seni artistik
dan karya sastra yang memiliki makna universal yang luar biasa.
Setelah
pemugaran besar-besaran pada 1973 yang didukung oleh UNESCO,
Borobudur kembali menjadi pusat keagamaan dan ziarah agama Buddha. Sekali
setahun pada saat bulan purnama sekitar bulan Mei atau Juni, umat Buddha di
Indonesia memperingati hari suci Waisak, hari yang memperingati kelahiran, wafat, dan terutama
peristiwa pencerahan Siddhartha Gautama yang mencapai tingkat
kebijaksanaan tertinggi menjadi Buddha Shakyamuni. Waisak adalah hari libur
nasional di Indonesia dan upacara peringatan dipusatkan di tiga candi Buddha
utama dengan ritual berjalan dari Candi Mendut menuju Candi Pawon dan prosesi
berakhir di Candi Borobudur.
Pada 21 Januari
1985, sembilan stupa rusak parah akibat sembilan bom. Pada 1991
seorang Husein Ali Al Habsyie, dihukum penjara seumur hidup karena berperan
sebagai otak serangkaian serangan bom pada pertengahan dekade 1980-an, termasuk
serangan atas Candi Borobudur.
Gempa
berkekuatan 6,2 skala mengguncang pesisir selatan Jawa Tengah pada 27 Mei 2006.
Bencana alam ini menghancurkan kawasan dengan korban terbanyak di Yogyakarta,
akan tetapi Borobudur tetap utuh.
Simposium bertajuk Trail of
Civilizations (jejak peradaban) digelar pada 28 Agustus 2006 di Borobudur atas
prakarsa Gubernur Jawa Tengah dan Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan, juga
hadir perwakilan UNESCO dan negara-negara mayoritas Buddha di Asia Tenggara,
seperti Thailand, Myanmar, Laos, Vietnam, dan Kamboja. Puncak acara ini adalah
pagelaran sendratari kolosal "Mahakarya Borobudur" di depan Candi
Borobudur. Tarian ini diciptakan dengan berdasarkan gaya tari tradisional Jawa,
musik gamelan, dan busananya, menceritakan tentang sejarah pembangunan
Borobudur. Setelah simposium ini, sendratari Mahakarya Borobudur kembali
dipergelarkan beberapa kali, khususnya menjelang peringatan Waisak yang
biasanya turut dihadiri Presiden Republik Indonesia.
UNESCO
mengidentifikasi tiga permasalahan penting dalam upaya pelestarian Borobudur:
- Vandalisme atau pengrusakan oleh
pengunjung;
- Erosi tanah di bagian tenggara
situs;
- Analisis dan pengembalian
bagian-bagian yang hilang. Tanah yang gembur, beberapa kali gempa bumi,
dan hujan lebat dapat menggoyahkan struktur bangunan ini. Gempa bumi
adalah faktor yang paling parah, karena tidak saja batuan dapat jatuh dan
pelengkung ambruk, tanah sendiri bergerak bergelombang yang dapat merusak
struktur bangunan. Meningkatnya popularitas stupa menarik banyak
pengunjung yang kebanyakan adalah warga Indonesia. Meskipun terdapat
banyak papan peringatan untuk tidak menyentuh apapun, pengumandangan
peringatan melalui pengeras suara dan adanya penjaga, vandalisme berupa
pengrusakan dan pencorat-coretan relief dan arca sering terjadi, hal ini
jelas merusak situs ini. Pada 2009, tidak ada sistem untuk membatasi
jumlah wisatawan yang boleh berkunjung per hari, atau menerapkan tiap
kunjungan harus didampingi pemandu agar pengunjung selalu dalam
pengawasan.
Borobudur
sangat terdampak letusan Gunung Merapi pada Oktober adan November 2010.
Debu vulkanik dari Merapi menutupi kompleks candi yang berjarak
28 kilometer (17 mil) arah barat-baratdaya dari kawah Merapi. Lapisan
debu vulkanik mencapai ketebalan 2,5 sentimeter (1 in) menutupi
bangunan candi kala letusan 3–5 November 2010, debu juga mematikan tanaman di
sekitar, dan para ahli mengkhawatirkan debu vulkanik yang secara kimia bersifat
asam dapat merusak batuan bangunan bersejarah ini. Kompleks candi ditutup 5
sampai 9 November 2010 untuk membersihkan luruhan debu.
UNESCO menyumbangkan
dana sebesar 3 juta dollar AS untuk mendanai upaya rehabilitasi. Membersihkan
candi dari endapan debu vulkanik akan menghabiskan waktu sedikitnya 6 bulan,
disusul penghijauan kembali dan penanaman pohon di lingkungan sekitar untuk
menstabilkan suhu, dan terakhir menghidupkan kembali kehidupan sosial dan
ekonomi masyarakat setempat. Lebih dari 55.000 blok batu candi harus dibongkar
untuk memperbaiki sistem tata air dan
drainase yang tersumbat adonan debu vulkanik bercampur air hujan. Restorasi berakhir November 2011, lebih awal dari perkiraan semula.
Borobudur
merupakan mahakarya seni rupa Buddha Indonesia, sebagai contoh
puncak pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika seni rupa Buddha
di Jawa. Bangunan ini diilhami gagasan dharma dari India, antara lain stupa, dan mandala,
tetapi dipercaya juga merupakan kelanjutan unsur lokal; struktur megalitik punden
berundak atau piramida bertingkat yang ditemukan dari periode prasejarah
Indonesia. Sebagai perpaduan antara pemujaan leluhur asli Indonesia dan
perjuangan mencapai Nirwana dalam ajaran Buddha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar